Oleh: Muhammad Hasan Basri Peneliti Indonesia Justice Watch
JURNAL BATAVIA – Presidenthial Threshold (ambang batas) merupakan syarat perolehan kursi dengan jumlah minimal tertentu diparlemen sebagai syarat partai politik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden (syarat pencalonan), Politik Hukum Presidential Threshold adalah sebuah praktik anomaly dalam negara-negara demokrasi sehingga perlu direkonstruksi.
Ada alasan yang mendasari sehingga Politik Hukum Presidenthial Threshold perlu direkonstruksi, Pertama, melihat praktik diberbagai negara yang menganut sistem presidensial justru apa yang dimaksud dengan Presidenthial Threshold bukanlah syarat pencalonan melainkan syarat keterpilihan. diperkuat dalam studi Syamsuddin Haris, praktik yang lazim dalam di negara-negara penganut sistem Presidensial, Presidenthial Threshold adalah ambang batas untuk keterpilihan Presiden. Kedua, Ambang batas pencalonan presiden diambil dari hasil Pemilu 2014, partai politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2014 otomatis kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Ini tentu tidak sesuai dengan prinsip keadilan pemilu (electoral justice). Meskipun putusan MK Nomor Perkara 14/PUU-XI/2013 menyatakan PT adalah Konstitutional, “Ketentuan pasal pesyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dengan tetap berdasarkan pada ketentuan UUD 1945.”
Mahkamah Konstitusi menafsirkan PT sebagai kebijakan hukum terbuka (Open legal policy). Meskipun putusan MK menyatakan PT adalah konstitutional tetapi putusan ini masih dapat diperdebatkan. Sebab prinsip dasar negara demokrasi adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi warga negara untuk berkumpul dan berserikat yang pada konteks ini negara harus memberikan hak yang sama bagi partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum. Selain karena melanggar asas keadilan pemilu (electoral justice) (karena hanya memberikan kesempatan bagi parpol lama untuk mencalonkan), juga ditinjau dari sistem presidential itu sendiri PT dalam pasal 222 UU Pemilu memmiliki cacat konsep.
Dalam teori presidensial, Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga siapapun bisa mencalonkan diri sebagai Presiden tanpa membatasi hak politiknya dengan penerapan Presidenthial Threshold ini secara tidak langsung melakukan pembatasan bagi partai politik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie melihat jumlah Parpol yang banyak tidak harus selalu dipandang sebagai hal yang negatif. Menurutnya, di masyarakat super majemuk seperti Indonesia, jumlah partai politik seharusnya tidak dianggap sebagai masalah, karena banyaknya partai politik justru penting untuk membuka ruang seluas-luasnya keanekaragaman aspirasi masyarakat politik Indonesia. Oleh karena itu, banyaknya partai jangan dianggap sebagai sumber masalah, melainkan seharusnya dipandang sebagai solusi untuk mengakomodasi semua kepentingan rakyat Indonesia yang berdaulat dan merdeka.
Berdasarkan pendapat Jimly Asshddqie diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa partai politik merupakan pilar demokrasi, partai politik dibentuk sebagai jaminan konstitutional yang diakui dan dilindungi dalam UUD 1945 dalam hal kebebasan untuk berkumpul dan berserikat.
Sehingga ketika Presidenthial Threshold diterapkan sebagai syarat ambang batas maka akan membatasai hak-hak partai politik sebab salah satu indikator kemunduran demokrasi adalah membatasi hak asasi sipil atau politik, penelitian yang dilakukan oleh Juan Linz bagaimana dan mengapa demokrasi mati. Banyak kesimpulan Linz bisa ditemukan dalam karyanya berjudul The Breakdown of Democratic Regimes. Buku yang terbit pada tahun 1978 itu menyoroti peran politikus, menunjukan bagaimana perilaku mereka bisa memperkuat atau mengancam demokrasi. Itu sebabnya politik hukum Presidenthial Threshold yang diterapkan hari ini merupakan kesepakatan para politikus untuk membatasi ruang-ruang demokrasi padahal PT itu adalah ambang batas minimum untuk keterpilihan presiden. Dalam konteks Indonesia, prasyarat presidenthial threshold jelas dan terang benderang diatur dalam konstitusi.
Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen mengamanatkan : “ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di indoneisa, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”. Berdasarkan uraian diatas penulis memberikan saran, bagi Pemerintah dan DPR untuk segera mengkaji pemberlakuan Presidenthial Threshold dalam rangka untuk menciptakan demokrasi yang lebih berkeadilan.(***)